Oleh: Muhamad Zen
CyberNews Sekretaris Pro Jurnalis Media Siber (PJS) DPD Bangka Belitung
Demokrasi Indonesia tampak hidup dan berdenyutโsetidaknya di permukaan. Baliho dan spanduk menghiasi jalanan, pernyataan-pernyataan politis memenuhi ruang digital, dan panggung kampanye seolah tak pernah benar-benar sepi. Namun jika kita menyingkap lapisan liarnya, akan tampak satu hal yang mengkhawatirkan: demokrasi perlahan berubah wujud menjadi sekadar pertunjukan.
Naskahnya tidak banyak brubah: penuh pengulangan, minim konflik substantif, dan sering kali jauh dari suara rakyat. Panggung ini semakin megah, tetapi justru semakin sunyi dari nurani.
Dalam dinamika tersebut, sebagian pekerja mediaโyang sejatinya adalah penjaga kewarasan publikโtanpa sadar ikut menjadi bagian dari pertunjukan. Bukan sebagai penonton yang kritis, melainkan sebagai bagian dari tim produksi. Narasi-narasi berita dipoles agar enak dibaca, aman bagi pemilik kepentingan, dan nyaman bagi pembaca.
Berita yang semestinya mengugah kini hadir sebagai bacaan yang meninabobokan. Konflik dipinggirkan, kritik dikurangi, dan kebenaran disajikan dalam kemasan yang bisa ditrima oleh semua pihakโbahkan oleh mereka yang seharusnya dikritik.
Tentu saja tidak semua jurnalis demikian. Masih banyak yang konsisten menjaga integritas dan keberanian. Namun harus diakui, jumlah mereka kian sedikit dan suara mereka kian sunyi. Banyak jurnalis hari ini memilih jalur โnetralโ demi kenyamanan dan keberlangsungan hidup. Mereka mengatakan, โKami hanya menyampaikan fakta.โ Padahal kita tahu, fakta pun bisa dibentukโtergantung siapa yang menulis, siapa yang membayar, dan siapa yang ingin dilindungi.
Kode Etik Jurnalistik menyatakan dengan tegas bahwa tugas jurnalis bukan untuk menyenangkan siapa pun, melainkan untuk menyampaikan kebenaran. Bahkan jika itu harus membuat narasumber tersingung atau membuat relasi bisnis terganggu. Keberpihakan terhadap kebenaran tak boleh ditawar, sekalipun mengundang risiko.
Netralitas yang tidak diiringi keberanian justru menjadi dalih untuk menghindar dari posisi etik. Diam dalam ketidakadilan bukanlah bentuk keseimbangan, melainkan keberpihakan terselubung. Ketika kebusukan dibiarkan, dan jurnalis memilih bungkam, maka keheningan itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap publik dan profesi.
Pers seharusnya menjadi tempat terakhir rakyat berharap ketika semua institusi gagal menjalankan fungsi kontrol. Namun jika jurnalis pun lebih sibuk membangun relasi daripada menyuarakan aspirasi, maka media hanya menjadi alat pelanggeng kekuasaan, bukan penantangnya.
Kini, saatnya kita kembali menulis dengan kegelisahan. Bukan demi akreditasi, bukan demi klik, dan bukan demi kenyamanan, melainkan demi mereka yang suaranya tidak lagi terdengar. Demokrasi hanya akan hidup jika media terus gelisah dan menolak diam.
Jika tidak, profesi ini akan kehilangan kehormatan. Dan yang lebih tragis, demokrasi akan kehilangan maknanya.
Tentang Penulis:
Muhamad Zen, Sekretaris Pro Jurnalis Media Siber (PJS) DPD Bangka Belitung. Aktif sebagai jurnalis sejak 2005, dan memulai kariernya di Tabloid Demokrasi yang terbit dwimungguan yang didirikan oleh wartawan senior Babel, KA. Ronie Achmad.
Dari sosok Ronie Achmad dan Amin Sulton, Zen belajar bahwa menjadi wartawan bukan hanya menulis berita, tapi juga soal menjaga nyala akal sehat dan keberanian. Ia kerap menghabiskan malam- malamnya di rumah Pak Ronie Achmad demi mendengarkan kisah perjuangan, meski terkadang harus tertidur di sofa karena larutnya obrolan.
Zen dikenal dengan tulisan-tulisannya yang kritis dan reflektif terhadap isu sosial, politik dan demokrasi. Baginya jika banyak pembaca yang tidak nyaman atas tulisannya justru itu menandakan ia masih wartawan, bukan wartabayaran.
Ia menyebut dirinya lulusan Universitas Gunung Maras, sebuah institusi yang katanya hanya dikenal oleh mereka yang cukup tabah hidup penuh kekeliruan. Gelarnya cukup mentereng yaitu: Sarjana Ilmu Politik Perkeliruan. Bukan karena ia salah mengambil jurusan, tapi karena ia lebih nyaman disebut “keliru” daripada “lurus” tapi tersesat di jalan yang terang.
Catatan Redaksi :
โโโโโโโโโโโโ
Isi narasi opini ini di luar tanggung jawab Redaksi, apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan atau keberatan dalam penyajian artikel, opini atau pun pemberitaan tersebut diatas, Anda dapat mengirimkan artikel dan atau berita berisi sanggahan atau koreksi kepada redaksi media kami, sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (11) dan ayat (12) undang-undang No 40 tahun 1999 tentang Pers.
Berita Sanggahan dan atau opini tersebut dapat dikirimkan ke redaksi media kami melalui email atau nomor whatsapp seperti yang tertera di box Redaksi.