CyberNews Cinta tak pernah menua. Ia tak memilih usia, tak bertanya apakah hati masih sanggup berbunga. Ia datangโdiam-diam, perlahanโdi antara dua jiwa yang pernah patah, lalu menyulam harapan di usia senja.
Djamal Dillah dan Mardiana bukanlah kisah cinta pertama. Namun, kisah mereka adalah cinta yang istimewa. Djamal, seorang duda yang hidup dalam sunyi. Mardiana, seorang janda yang lebih dulu ditinggal belahan jiwanya. Mereka bertetanggaโhanya berjarak dua rumahโnamun hati mereka telah lama saling menyapa dalam diam.
Setiap pagi, Djamal memandang Mardiana dari balik jendela. Perempuan itu masih setia menyiram bunga, seolah tengah merawat kenangan yang tak pernah layu. Setiap senja, Mardiana mencuri pandang pada lelaki yang duduk termenung, menanti sesuatu yang tak ia tahu pasti.
Lalu cinta datang, seperti hujan di musim kemarau. Tak deras, tak terburu-buru, namun cukup untuk membuat tanah hati mereka kembali subur. Djamal memberanikan diri meminang Mardianaโbukan untuk menjadi cinta yang membakar gairah, melainkan sebagai pelengkap sunyi, teman berbagi tawa, sandaran di hari-hari senyap.
Mardiana menerima. Mereka menikah dalam kesederhanaan. Tanpa pesta, tanpa denting piano atau karangan bunga. Hanya tatapan haru, genggaman erat, dan janji dalam diam: kita akan saling menjaga hingga akhir usia.
Hari-hari mereka berjalan damai. Tawa kecil mengisi ruang yang dulu sunyi. Obrolan ringan, saling menyuap di meja makan, doa bersama sebelum tidur. Tak ada yang mewah, namun semuanya terasa cukupโkarena cinta hadir dalam bentuk paling murni: kebersamaan.
Hingga suatu pagi, takdir datang tanpa salam.
Sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga, Djamal naik ke atap dapur untuk memperbaiki kebocoran kecil yang membuat air menetes sejak malam. Ia ingin istrinya nyaman, tak resah saat hujan turun. Tapi siapa sangka, langkahnya tergelincir. Djamal jatuh. Kepalanya membentur lantai. Tubuhnya terbujur kaku. Tanpa rintihan. Tanpa keluhan. Diam. Beku.
Djamal tutup usia dalam pelukan dan dekapan Mardiana, di usia 73 tahun, Sabtu 24 Mei 2025.
Mardiana yang sedang di kamar, berlari ke dapur setelah mendengar teriakan cucunya, โKakek jatuh!โ Ia panik. โBapak!โ serunya. Tapi suaminya tak bergerak. Ia memeluk tubuh itu yang mulai dingin, memanggil-manggil namanya dengan isak yang memecah pagi. Dalam dekapannya, Mardiana merasa dunia runtuh perlahan. Sosok yang selama ini menjadi sandaran hidupnya, pelindung yang penuh kasih, kini telah pergiโbegitu tiba-tiba, tanpa pamit, tanpa sempat mengucap kata perpisahan.
Tangisnya menggema, menggugah para tetangga yang segera berdatangan. Mereka membopong Djamal ke rumah sakit. Namun takdir telah lebih dulu memeluknya. Dokter berkata pelan, โMaaf, Bu… beliau sudah tiada sebelum tiba di UGD.โ
Mardiana menangis, namun kali ini air matanya terasa berbeda. Dulu, ia pernah kehilangan suami yang menemaninya sejak muda. Puluhan tahun mereka habiskan bersama, membesarkan anak-anak, menua dalam suka dan duka. Tapi kehilangan kali ini terasa lebih menusuk.
Kebersamaannya dengan Djamal mungkin hanya sebentar, namun terasa lebih dalam. Tak ada anak cucu yang tinggal serumah, tak ada hiruk pikuk keluarga besar. Hanya mereka berduaโdalam diam yang saling mengisi, dalam kesunyian yang terasa lengkap.
Setiap hari bersamanya adalah anugerah. Djamal hadir bukan hanya sebagai suami, tetapi sebagai sahabat yang mendengarkan, sebagai pelindung yang menguatkan, sebagai lelaki yang menempatkan cinta dalam tindakan kecil namun bermakna. Kepergiannya meninggalkan ruang kosong yang tak tergantikan. Mardiana merasa seolah kehilangan separuh jiwanya.
Kebahagiaan mereka bukan tentang makanan mewah, bukan tentang perjalanan liburan. Kebahagiaan mereka hadir saat menjalani hari demi hari bersamaโmenyedu teh, berbagi selimut, tersenyum dalam lirih, saling menyapa dalam doa.
Kini, Mardiana sendiri lagi. Namun ia tidak benar-benar kesepian. Sebab cinta itu masih tinggalโdi cangkir teh yang kini hanya satu, di kursi goyang yang tetap berayun perlahan, di bunga-bunga yang tak pernah absen disiram.
Cinta mereka tak selesai. Ia hanya berpindah rupa.
Dalam dekapan senja, cinta itu tetap menyala.
Tenang. Abadi.
———————–
Tulisan ini adalah kisah nyata yang didedikasikan untuk mengenang dua insan luar biasa, dan sosok seorang Djamalโsuami yang sabar, penyayang, serta pelindung penuh kasih.
Oleh : Zen Adebi